Hanya dalam rentang waktu tiga bulan persiapan yang mendesak, Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) kini resmi hadir. Presiden Prabowo Subianto, dalam semangat yang membara, menaruh harapan besar pada 80.000 koperasi desa dan kelurahan ini sebagai jembatan untuk memangkas rantai distribusi, memastikan aliran kebutuhan pokok masyarakat lancar, dan menghidupkan kembali denyut nadi ekonomi pedesaan.
“Yang desa nelayan punya pendingin lebih besar untuk bikin es dan menjaga ikan. Kemudian sebelahnya gudang akan ada gerai-gerai untuk sembako, ada gerai untuk simpan pinjam,” ujar Presiden Prabowo pada 12 Juli 2025, membayangkan sebuah ekosistem yang mandiri, di mana koperasi menjadi pusat bagi petani, peternak, dan nelayan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Inisiatif ini bukanlah sekadar janji manis di atas kertas. Berakar pada kebijakan strategis pemerintah yang ditetapkan pada 3 Maret 2025, pembentukan Kopdes Merah Putih ditegaskan kembali melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang terbit pada 2 Mei 2025. Targetnya ambisius: 80.000 koperasi mulai beroperasi pada 28 Oktober 2025.
Dana Melimpah dan Pertaruhan APBN
Untuk mewujudkan mimpi ini, sebuah gelontoran dana segar telah disiapkan. “Kami telah menarik anggaran sebesar Rp 250 triliun dari Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk pendirian Koperasi Merah Putih serta anggaran Rp 300 triliun untuk KUR (kredit usaha rakyat) yang bisa dipinjam dari koperasi tersebut,” ungkap Presiden Prabowo. Ia menambahkan, dana yang sebelumnya hanya berputar di “kelompok-kelompok tertentu” ini, kini ditarik untuk pembangunan desa melalui Kopdes Merah Putih.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada Jumat, 2 Mei, menjelaskan lebih lanjut skema pendanaan yang menggiurkan sekaligus berisiko ini. Setiap koperasi desa/kelurahan akan dimodali dana segar Rp 4-5 miliar per tahun melalui Bank Himbara. Yang menarik, dan mungkin mencemaskan, adalah jaminan APBN. “APBN ini semacam penjamin. Kalau ada masalah macet, dana desa ini dipotong,” tegas Budi Arie. Ini adalah pertaruhan besar yang melibatkan keuangan negara, menempatkan APBN sebagai “bantalan” jika Kopdes Merah Putih tersandung dalam operasionalnya.
Sejauh ini, klaim menunjukkan bahwa 80.560 desa/kelurahan telah membentuk koperasi melalui musyawarah khusus, dengan 77.086 di antaranya telah berbadan hukum. Beberapa provinsi telah mencapai target 100%, namun tak sedikit yang masih tertinggal, seperti Banten, Papua, dan Sulawesi Tengah. Namun, di balik angka-angka optimistis ini, banyak koperasi yang belum bisa beroperasi karena menanti kejelasan skema pendanaan dan pendampingan teknis dari pemerintah.
Bayangan Masa Lalu dan Benturan Aturan Obsesi terhadap pemerataan ekonomi melalui koperasi bukanlah hal baru di Indonesia. Sekilas, Kopdes Merah Putih seperti cerminan dari Koperasi Unit Desa (KUD) era Presiden Soeharto di akhir tahun 70-an. Melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1973, KUD ditetapkan sebagai satu-satunya koperasi di pemerintah desa, menjadi sentra distribusi pupuk, benih, dan hasil pertanian.
Namun, sejarah mencatat, KUD justru seringkali menjadi “bancakan” elit lokal. Banyak kasus penggelapan dana yang merugikan petani, seperti insiden di Tomohon, Sulawesi Utara pada 1978, di mana koperasi kehilangan Rp 50 juta. Hingga 1989, sejumlah KUD terlilit kasus penggelapan uang hingga ratusan miliar rupiah kala itu. Tata kelola yang rentan dengan pencampuran urusan pribadi dan legalitas koperasi yang berbasis individu memungkinkan aset beralih milik pribadi, menciptakan “ruang gelap” bagi penggelapan. Apakah Kopdes Merah Putih akan bernasib serupa?
Potensi benturan regulasi juga mengintai. Dari konsep yang disiapkan pemerintah, modal Kopdes Merah Putih akan berasal dari dana desa, dengan potongan 20 persen di tahun pertama dan 20 persen sebagai agunan utang ke bank negara di tahun berikutnya. Skema ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyebutkan dana desa sebesar Rp 1 miliar per tahun seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemberdayaan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dalam undang-undang tersebut, koperasi tak disebut-sebut. Jika terjadi gagal bayar, skema ini rentan mengganggu ekonomi desa secara keseluruhan.
Anggaran Dadakan
Program Kopdes Merah Putih ini, dengan pembentukan 80.000 koperasi secara top-down dan tata cara yang diatur oleh pemerintah pusat, menjadi contoh terbaru dari apa yang disebut “ekonomi komando” ala Prabowo. Tanpa prinsip kebersamaan, keadilan, dan usaha kolektif yang menjadi ruh koperasi sejati, model ini dipertanyakan efektivitasnya dalam jangka panjang.
Yang lebih mencengangkan, penganggaran program ini terkesan dadakan, baru berlangsung tiga bulan sebelum peluncurannya. Kementerian Koperasi sendiri harus berpacu dengan waktu, memfokuskan pada pelatihan untuk setiap Kopdes Merah Putih yang membutuhkan tiga orang pengawas. Ini berarti kebutuhan SDM mencapai 24.000 orang. Dengan anggaran pelatihan Rp 5 juta per orang, totalnya mencapai Rp 1,2 triliun. Belum lagi anggaran kelembagaan sebesar Rp 2,5 juta per koperasi untuk pengurusan badan hukum, yang menelan total Rp 200 miliar.
Dengan total kebutuhan anggaran yang ditaksir mencapai Rp 400 triliun, program Kopdes Merah Putih ini bukan lagi sekadar program pemerataan ekonomi. Ia adalah sebuah proyek pertaruhan besar yang melibatkan anggaran negara, harapan rakyat, dan bayang-bayang sejarah kelam koperasi. Apakah obsesi Merah Putih ini akan membawa kemakmuran atau justru menciptakan lingkaran masalah baru di desa-desa Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab.
Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi
Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.