Setelah berhasil memiliki Kitab Hukum Acara Pidana sendiri setelah 75 tahun memakai hukum pidana warisan kolonial Belanda, kini acara pidana akan segera mutakhir. Pemerintah tengah menggodok revisi Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, kini, babak baru akan segera dimulai. Sebuah upaya pemutakhiran tengah digodok oleh pemerintah, sebuah revisi KUHAP yang diharapkan akan membawa sistem peradilan pidana ke era yang lebih modern, lebih adil, dan lebih responsif terhadap dinamika zaman. Harapan melangit ini memang wajar, sebab ketentuan dalam KUHAPlah yang pada akhirnya menentukan nasib proses hukum, menjadi kunci untuk menghindari tragedi salah tangkap, kekerasan aparat, hingga vonis yang keliru.

Namun, di balik harapan yang membumbung tinggi, proses revisi KUHAP yang tengah berlangsung di DPR kini justru menjadi sorotan tajam, bahkan memicu kecemasan. Suara-suara kritis mulai mengemuka, menuding bahwa proses pembahasannya terlampau kilat, berpacu dengan waktu tanpa memberi ruang yang cukup bagi pendalaman substansi. Lebih jauh lagi, topik-topik krusial yang seharusnya menjadi fokus revisi justru menuai kritik tajam dari para pegiat hukum dan hak asasi manusia. Mereka khawatir, alih-alih memperbaiki, KUHAP hasil revisi ini justru berpotensi melanggengkan praktik-praktik yang merugikan, bahkan mengancam kemajuan hak asasi manusia di Indonesia.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dengan nada prihatin menyoroti kecepatan pembahasan yang mencurigakan. “Selain itu,” ujarnya, “kami dan rekan sejawat pegiat hukum tak pernah mendapat draf coret-coretan yang seharusnya dapat diakses publik.” Transparansi, sebuah pilar penting dalam setiap proses legislasi, seolah sirna di tengah jalan.

Mengingat bahwa Komisi III DPR RI yang membidangi isu hukum sempat mengundang beberapa pegiat hukum, termasuk YLBHI, untuk konsultasi pada 23 Januari 2025. Kabar yang beredar saat itu, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, berjanji akan menyusun draf dari nol, dengan semangat keterbukaan. Namun, tak sampai sebulan berselang, tepatnya pada 18 Februari 2025, muncul kabar mengejutkan: Komisi III DPR RI telah rampung melakukan penyusunan. “Di situs DPR tertulis akan diunggah 17 Februari 2025,” tambah Isnur, menandakan kejanggalan dalam linimasa proses.

Dokumen yang dinanti-nanti itu, draf RKUHAP, akhirnya baru muncul pada 20 Maret 2025. Namun, hasil telaah mendalam dari YLBHI dan rekan-rekan pegiat hukum justru membunyikan alarm bahaya. Substansi RKUHAP itu dinilai sangat mengkhawatirkan. Banyak pasal yang terindikasi melemahkan hak-hak tersangka dan pengacara, ketiadaan sistem pengawasan yang memadai, serta masih adanya celah lebar bagi penyalahgunaan wewenang oleh penyelidik dan penyidik. Sebuah kemunduran yang bisa jadi fatal bagi penegakan keadilan.

Di dalam tubuh pemerintah sendiri, proses revisi ini juga diwarnai tarik-ulur kekuatan. Konflik kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian menjadi episentrum perdebatan. Kejaksaan, dengan ambisi memperluas kewenangan dominus litis—hak untuk memulai, mengarahkan, dan mengakhiri penyelidikan—berusaha merebut kendali yang selama ini melekat pada kepolisian. Dinamika ini sempat menemukan titik temu dalam sebuah konsep pelibatan jaksa penuntut umum dalam seluruh proses dominus litis. Namun, nyatanya, Kepolisian juga tak ingin kalah. Mereka menginginkan kewenangan jaksa yang lebih kuat tidak hanya di lingkungan mereka sendiri, melainkan juga dibandingkan lembaga lain seperti Kejaksaan, Bea Cukai, Lingkungan Hidup, hingga Komunikasi Digital. Sebuah pertarungan yang sengit di balik layar.

Hingga kini, dinamika antara Kejaksaan, Kepolisian, dan masyarakat sipil masih terus berlangsung. Lobi-lobi senyap, perdebatan terbuka, dan tekanan dari berbagai pihak akan menentukan wajah akhir dari revisi KUHAP ini. Publik, dengan napas tertahan, menanti akhir dari tarik-ulur kepentingan ini, dengan harapan satu-satunya: demi perbaikan hukum yang sejati, yang berpihak pada keadilan dan hak asasi manusia, bukan sebaliknya


Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi

Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.

Rp 1.000.000