Di SMKN Tambakboyo, Kabupaten Tuban, sebuah pemandangan yang seharusnya menjadi wujud harapan berubah menjadi ironi. Sebuah video yang beredar viral di media sosial memperlihatkan seorang siswa mendapati belatung di dalam menu Makan Bergizi Gratis (MBG) miliknya. Belatung itu, entah berasal dari lauk atau sayuran, menjadi simbol dari masalah yang jauh lebih besar. Teman-teman sekelasnya berkumpul, ada yang kaget, ada pula yang tertawa, menyaksikan temuan itu. Namun, siswa yang menemukan belatung itu hanya bisa menutup wadahnya, mengurungkan niatnya untuk menyantap makanan yang seharusnya menjadi haknya. Insiden di Tuban ini menambah daftar panjang masalah yang mengiringi program ambisius ini sejak diluncurkan pada awal 2025. Sebelumnya, delapan siswa SDN di Empat Lawang, Sumatera Selatan, mengalami keracunan. Begitu pula di Penukal Abab Lematang Ilir, 173 anak mengeluh pusing dan sakit perut. Puncaknya, di Kota Bogor, pemerintah daerah bahkan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) setelah 223 siswa keracunan. Ambisi Besar, Pelaksanaan Bertahap Program MBG adalah salah satu janji utama kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Tujuannya mulia: memastikan anak-anak dan ibu hamil mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk mencegah stunting. Untuk mewujudkannya, pemerintah mendirikan Badan Gizi Nasional (BGN). Anggaran yang dialokasikan sungguh fantastis: Rp 70,8 triliun di APBN 2025, menjadikannya salah satu dari lima lembaga negara dengan anggaran terbesar. Ketika program ini berjalan penuh pada 2029, angkanya diperkirakan mencapai Rp 460 triliun per tahun. Namun, di lapangan, ambisi besar ini menghadapi kenyataan pahit. Hingga Juli 2025, program baru menjangkau 6,7 juta penerima manfaat, jauh dari target 82,9 juta. Presiden Prabowo sendiri mengakui kekecewaannya. “Anak-anak sekolah mereka teriak belum mendapatkan makan bergizi gratis dan menanyakan kapan, saya melihat mata-mata mereka saya tidak tega,” ujarnya. Masalahnya bukan terletak pada anggaran, melainkan pada eksekusi. Jantung program MBG adalah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur-dapur produksi makanan massal. Setiap SPPG ditargetkan melayani hingga 3.000 penerima manfaat dengan menu seharga Rp 10.000 yang tetap bergizi. Namun, jumlah SPPG yang beroperasi baru sekitar 2.127, jauh dari target 5.000. Proses pendiriannya terhambat birokrasi dan persyaratan ketat yang bertujuan menjamin standar higienitas. Perjuangan di Balik Dapur BGN, sebagai pelaksana, terus berbenah. Mereka telah memperbaiki alur administrasi dan mengubah sistem pembayaran dari reimburse menjadi virtual account untuk mempercepat siklus keuangan. BGN juga merekrut Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) untuk mengepalai setiap SPPG, memastikan operasional berjalan lancar, dari manajemen keuangan hingga penentuan menu. Program MBG juga dirancang untuk menggerakkan ekonomi. Dengan melibatkan UMKM sebagai mitra, pemerintah berharap uang yang berputar di desa-desa bisa meningkat signifikan. Menurut Prabowo, perputaran uang di desa bisa meningkat dari Rp 1 miliar menjadi Rp 6 miliar per tahun. Namun, masalah tetap muncul. Dapur-dapur raksasa yang melayani lebih dari 10 sekolah, serta aturan yang terlalu kaku soal menu, seringkali tidak sesuai dengan ketersediaan bahan baku lokal. Di sinilah letak tantangannya: BGN harus bisa bersikap fleksibel tanpa mengorbankan prinsip dasar gizi dan kebersihan. Pada akhirnya, program makan siang gratis ini adalah potret nyata tentang kesenjangan antara janji politik dan realitas di lapangan. Ia adalah gambaran sebuah mimpi mulia yang dihantam oleh tantangan birokrasi, distribusi, dan logistik. Dan di tengah semua itu, belatung di wadah makan siang menjadi pengingat yang pilu, bahwa jalan menuju janji itu masih sangat panjang dan penuh liku.
Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi
Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.