Di balik keriuhan ibadah, ada ironi yang terus berulang setiap tahun. Indonesia, dengan populasi muslim terbesar di dunia, seperti mendapat kutukan di balik berkah haji. Angka jemaah yang fantastis—221.000 jiwa tahun ini—memang melahirkan perputaran uang yang masif, namun juga membawa serta kekisruhan yang tak kunjung usai. Jemaah 2025, misalnya, terpaksa menempuh perjalanan kaki berjam-jam dari Muzdalifah menuju Mina, sebuah perjalanan yang seharusnya terhindar dengan manajemen yang baik. Pemandangan ini seakan memutar kembali kenangan pahit tahun sebelumnya. Haji 2024 dipenuhi dengan masalah tenda yang melebihi kapasitas, toilet tak memadai, hingga tuduhan penyalahgunaan kuota. Puncaknya, Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR mendapati jemaah haji plus di Maktab 111 yang seharusnya menempati tenda berkapasitas 80 orang, justru berjejal hingga 1.200 orang. Jemaah bahkan ada yang diusir, terlantar tanpa tenda. “Padahal 30% dari jemaah haji Indonesia adalah lansia. Mestinya dari 10 toilet itu setidaknya ada tiga toilet duduk,” ujar salah satu anggota Timwas. Masalah itu berujung pada pembentukan Pansus Haji di DPR, yang digembor-gemborkan oleh partai politik sebagai alat pengawasan. Namun, Pansus itu tak lebih dari sebuah panggung politik. Menteri Agama saat itu, KH Yaqut Cholil Qoumas, menjadi tumbal. Ia tak melanjutkan jabatannya di periode berikutnya, seakan mengiyakan bahwa politik dan penyelenggaraan haji adalah dua sisi mata uang yang sama.
Ketika Kebijakan Baru Tidak Beri Solusi Tahun ini, dengan niat menghadirkan kompetisi layanan, pemerintah memecah mitra tunggal yang semula bernama syarikah menjadi delapan perusahaan berbeda. Sebuah langkah yang berani, namun terbukti menjadi akar persoalan. Sistem ini tidak didukung oleh integrasi data yang memadai dari Tanah Air. Sistem manifest yang seharusnya merujuk pada akurasi data justru merujuk pada kecepatan pembayaran bea haji. Alhasil, kloter-kloter yang tidak penuh kuotanya dipaksa diisi oleh jemaah dari kota lain. Sebuah kekacauan data yang berakibat fatal di lapangan. Setelah 75 tahun menanggung tanggung jawab, Kementerian Agama resmi undur diri dari pengelolaan operasional haji. Menteri Agama, Nasarudin Umar, menyerahkan tongkat estafet ke Badan Penyelenggara Haji (BP Haji). Namun, penyerahan ini masih sebatas simbolis. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 154 tentang BP Haji menyebutkan bahwa lembaga ini hanya bertugas “memberikan dukungan dan pengawasan.” Fungsi pelaksana atau penyelenggara masih berada di tangan Kementerian Agama, terbentur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Ironi lain pun muncul: BP Haji yang idealnya menjadi ujung tombak perbaikan, hanya diberi wewenang parsial. Ini menjadi semacam ‘tulah’ bagi berkah haji. Peralihan pengelolaan haji ke depan, meski sudah memiliki regulasi, membutuhkan lebih dari sekadar aturan di atas kertas. Ia butuh persiapan sumber daya manusia yang matang, yang tidak terjebak dalam kepentingan politik. Komisi 8 dan partai penguasa seharusnya menjadi garda terdepan untuk memastikan pengelolaan haji benar-benar demi kemaslahatan jemaah, bukan panggung politik untuk mengukur kekuatan atau menjatuhkan lawan. Sebab, haji bukan hanya perjalanan spiritual, tapi juga potret cermin carut marut birokrasi dan politik di negeri ini. Dan di tengah semua itu, kita, sebagai bangsa, seakan hanya menjadi ‘tukang naik haji’, yang sibuk mengurus ritual, tapi lupa menata sistemnya.
Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi
Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.