Langit Tokyo yang kelabu, pada suatu sore, menjadi saksi bisu atas sebuah janji yang tak tertepati. Di antara gedung-gedung pencakar langit dan kerumunan yang tergesa, melangkahlah seorang pemuda bernama Moch Wildan Syafaat. Ia datang dari Sukabumi, membawa koper berisi mimpi dan semangat untuk merantau di Negeri Matahari Terbit. Ia adalah seorang pekerja migran, terdaftar secara legal, namun nasibnya tak sejalan dengan legalitas itu.
Wildan, pemuda yang baru tujuh bulan mengadu nasib di negeri orang, harus menelan pil pahit. Upah yang dijanjikan jauh di atas kertas; yang ia terima tak lebih dari 60% haknya. Ia pun memilih jalan pulang, bukan dengan kemenangan, melainkan dengan kekalahan yang pahit. Ia resign, tanpa pesangon, tanpa tiket pulang, hanya dengan sisa tabungan yang tak seberapa. Ia terkatung-katung selama satu setengah bulan, berpindah dari satu rumah teman ke rumah teman lainnya, hingga akhirnya ia tiba di depan pintu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Namun, bahkan pintu itu pun tak bisa menampungnya karena tak ada shelter khusus untuk pekerja migran.
Dengan koper yang terasa kian berat, ia menyusuri jalanan Tokyo, mencari tempat berteduh. Sebuah masjid menjadi pelabuhan terakhirnya. Di sana, ia menginap selama dua hari, dalam ketidakpastian, sebelum akhirnya, dari Sukabumi, keluarganya menghubungi seseorang yang bisa membantu. Malam itu juga, sebuah tiket pulang dibelikan. Setelah menempuh perjalanan lebih dari 20 jam dan transit di Seoul, Wildan akhirnya menginjakkan kaki di Jakarta. Saya dan ayahnya menjemputnya di lounge khusus PMI, sebuah tempat yang menjadi saksi bisu dari akhir perjalanan pahit seorang pekerja migran, yang memilih pulang dengan kepala tegak, meski tanpa membawa apa-apa selain pengalaman yang menyakitkan.
Ketika Devisa Berlimpah, Perlindungan Belum Merata
Kisah Wildan adalah satu dari ribuan kisah yang terulang setiap tahun. Pada 2024, tercatat ada 1.500 pengaduan yang diajukan oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI). Meskipun jumlah ini turun drastis 22%, masalah yang mereka hadapi tetap kompleks, mulai dari penempatan ilegal, pelanggaran hak-hak pekerja, hingga gaji yang tidak sesuai. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat ada 207.090 PMI yang ditempatkan pada Januari-Agustus 2024, mayoritas dari mereka bekerja di sektor informal dan didominasi oleh perempuan.
Di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, BP2MI berubah menjadi lembaga setingkat kementerian, dengan Abdul Kadir Karding sebagai menterinya. Langkah ini diharapkan mampu memperkuat perlindungan bagi para pahlawan devisa ini. Namun, ambisi besar ini terbentur oleh realitas anggaran.
Pada tahun 2024, BP2MI sejatinya mendapat anggaran sebesar Rp 530 miliar, naik signifikan dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini dinilai oleh Benny Rhamdani (Kepala BP2MI sebelumnya) sebagai hal yang sangat membantu. Benny menyoroti bahwa selama lima tahun terakhir, 60% anggaran BP2MI habis untuk belanja operasional, sementara hanya 40% untuk program layanan. Namun, dengan kenaikan anggaran di 2024, proporsi itu berubah menjadi lebih sehat, dengan 54% dialokasikan untuk belanja non-operasional yang mendukung program perlindungan.
Janji yang Terhimpit Anggaran
Meski begitu, tantangan efisiensi anggaran kembali datang. Sesuai arahan presiden, kementerian harus memangkas belanja, dan kini, Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) hanya memiliki Rp 250 miliar di kantongnya. Jumlah ini jauh lebih kecil dari anggaran yang direncanakan.
Melihat kondisi ini, Komisi IX DPR mengajukan usulan penambahan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun untuk tahun 2026. Angka ini dianggap lebih realistis untuk menjalankan program perlindungan yang komprehensif. DPR menilai, sebagai penyumbang devisa yang signifikan, para pekerja migran berhak mendapatkan perlindungan yang lebih memadai.
Kisah Moch Wildan Syafaat, yang pulang dengan pengalaman pahit namun kepala tegak, adalah cermin dari ribuan kisah lain. Sebuah pengingat bahwa di balik megahnya angka dan ambisi politik, ada manusia-manusia yang berjuang. Perlindungan bagi mereka bukan hanya masalah data atau anggaran, melainkan sebuah janji moral yang harus ditepati.
Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi
Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.