Ada kalanya, rutinitas kerja terasa begitu mencekik. Dinding-dinding kusam kantor, tumpukan berkas yang menjulang, dan deru pendingin ruangan yang monoton. Namun, bagi sebagian aparatur sipil negara (ASN) di kementerian, ada sebuah ritual yang memecah kebosanan itu: rapat di hotel. Ini bukan sekadar agenda, melainkan sebuah oase kecil di tengah gurun birokrasi. Saat mobil-mobil dinas memasuki lobi megah, udara panas Jakarta tiba-tiba berganti dengan kesejukan lobi yang wangi. Suasana berubah seketika, dari lingkungan kerja yang formal dan kaku menjadi laksana sebuah liburan singkat yang dibayar.
Di dalam, ruang rapat sudah menanti, dingin menusuk dan hening. Di atas meja, air mineral kemasan premium berjajar rapi, bersama pulpen dan notes baru yang masih bersih. Namun, hal yang paling memikat adalah jeda makan. Prasmanan dengan menu lengkap, dari hidangan utama hingga hidangan penutup yang lezat. Setiap sendok makan adalah pelepasan dari nasi kotak yang membosankan di kantor. Lalu, saat mentari beranjak, fasilitas hotel menjadi milik mereka. Bantal-bantal empuk, seprai bersih, dan kamar mandi dengan air panas menanti, menawarkan istirahat yang nyaman dari lelahnya tuntutan pekerjaan. Dan sebagai penutup, di akhir acara, ada ritual terakhir yang tak pernah terlewatkan: amplop berisi honor, sebagai tanda terima kasih atas kehadiran mereka. Sebuah upacara yang mengakhiri hari-hari kerja yang membosankan dan mengubahnya menjadi sebuah kemewahan yang dibayarkan oleh negara.
Ketika Mesin Birokrasi Berbenturan dengan Efisiensi
Ritual mewah itu kini berada di ujung tanduk. Kementerian Keuangan telah mengibarkan bendera perang terhadap pertemuan di hotel. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33/2025, mulai tahun 2026, uang saku harian untuk rapat di luar kantor akan dihapus. Peraturan ini menjadi paku terakhir bagi tradisi yang telah lama berjalan. Sebagai perbandingan, tahun ini PNS masih bisa mengantongi Rp95.000 untuk paket fullday, sebuah angka yang kini tinggal kenangan.
Kebijakan ini adalah bagian dari ambisi besar pemerintah Prabowo-Gibran untuk melakukan efisiensi anggaran. Pertemuan di hotel, yang selama ini menjadi salah satu pos pengeluaran terbesar, menjadi sasaran utama. Tak butuh waktu lama, dampaknya langsung terasa. Menurut pengusaha perhotelan, okupansi hotel menurun 20%, dan industri ini kehilangan pendapatan hingga Rp1 miliar. Padahal, kontribusi dari kegiatan pemerintah, seperti rapat dan seminar, bisa mencapai 70% hingga 80% dari total pendapatan hotel. Di tengah kegelisahan itu, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, memberikan sedikit napas lega. Ia menyatakan bahwa pemerintah daerah “boleh melaksanakan kegiatan di hotel dan restoran,” seakan memberikan ruang gerak bagi industri yang terancam.
Pertanyaan Kritis di Balik Angka
Di balik gemerlap lobi dan lezatnya prasmanan, ada pertanyaan yang jauh lebih mendalam: seberapa efektifkah pertemuan-pertemuan itu? Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi periode 2021-2024, Abdullah Azwar Anas, pernah menyentil bahwa anggaran triliunan rupiah hanya habis untuk rapat dan studi banding, tanpa dampak yang nyata bagi masyarakat. “Misal ada studi banding soal kemiskinan, ada diseminasi program kemiskinan berulang kali di hotel,” ungkap Anas. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya pemborosan yang tidak sesuai dengan arahan presiden untuk membelanjakan anggaran pada program yang berdampak langsung kepada rakyat.
Pada akhirnya, tradisi rapat di hotel bukan hanya sekadar masalah uang, melainkan juga masalah mentalitas. Sebuah ritual yang mengubah tanggung jawab menjadi kenyamanan, dan efektivitas menjadi sekadar kehadiran. Kini, dengan dihapusnya uang saku, para ASN dihadapkan pada kenyataan baru: bahwa pekerjaan seharusnya dilakukan di kantor, dan kemewahan yang dibayarkan oleh negara harusnya menjadi bagian dari masa lalu.
Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi
Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.