Dalam lanskap sejarah, ada sebuah adagium klasik: sejarah ditulis oleh para pemenang. Namun, di ranah negara, adagium itu berganti rupa menjadi “sejarah ditulis oleh pemenang pemilu.” Indonesia, yang bersiap merayakan HUT ke-80 pada Agustus nanti, bersiap pula menyambut sebuah “kado” monumental: buku babon sejarah nasional. Sebuah catatan resmi yang akan menjadi kiblat narasi masa lampau bagi generasi di ruang-ruang kelas.

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, pada 26 Mei 2025, mengonfirmasi rencana besar ini di Kompleks MPR/DPR. Buku ini, katanya, bukan sekadar penambahan, melainkan “revisi penambahan” yang akan menjadi buku sejarah resmi Indonesia. Anggaran yang disiapkan, meski dianggap “tidak banyak,” mencapai sekitar Rp 9 miliar.

Proyek ini bukanlah kali pertama. Pada 1975, pemerintah menerbitkan Sejarah Nasional Indonesia setebal enam jilid. Kemudian, pada 2010-an, muncul Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) setebal 4.500 halaman dalam sembilan jilid. Kini, sejarah akan kembali dicetak ulang.

Fadli Zon menyoroti tiga pilar utama dalam pembaruan ini: revisi narasi, penambahan materi baru, dan pelurusan sejarah berdasarkan kajian. Salah satu contoh yang disorot adalah perubahan penyebutan “Zaman Hindu-Buddha” atau “Zaman Islam” menjadi “Indonesia dalam Jaringan Global” atau “Indonesia dalam Jaringan Timur Tengah,” sebuah upaya untuk menempatkan Indonesia sebagai aktor aktif dalam peristiwa dunia.

Mengupas Lapisan-Lapisan Narasi

Tentu saja, wacana ini memicu perdebatan. Hetifah Sjaifudian, Ketua Komisi X DPR, menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah harus dilakukan secara lebih adil, lengkap, dan objektif. Ia menyoroti bagaimana sejarah nasional seringkali ditulis dari kacamata penguasa, mengabaikan kontribusi kelompok minoritas atau tokoh-tokoh yang terpinggirkan. Dengan terbukanya dokumen-dokumen lama dan kemajuan teknologi arsip, kini ada kesempatan untuk mengungkap fakta-fakta baru yang selama ini terkunci. Proses penulisan ulang ini melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum, dari berbagai disiplin ilmu seperti sejarawan, arkeolog, geografi, dan humaniora. Sebuah tim besar untuk sebuah tugas yang maha berat.

Namun, benarkah inisiatif ini hanya datang dari atas?

Susanto Zuhdi, yang pernah menjabat kepala direktorat sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyebut bahwa keinginan untuk memperbarui sejarah nasional sudah lama bersemayam di kalangan sejarawan, bahkan menjadi amanat Kongres Sejarah pada 2001.

“Ini kepentingan dari bawah maupun dari atas,” kata Susanto kepada BBC Indonesia. “Kelihatannya Pak Prabowo secara prinsip, secara pribadi, saya lihat suka sejarah… Jadi ya memang kepentingan bersama.”

Meski demikian, bayangan akan bahaya sejarah sebagai alat politik tetap mengintai. Pemerintah, pada dasarnya, memiliki kecenderungan untuk menggunakan catatan resmi guna membenarkan kebijakan dan posisinya. Sejarah yang diajarkan di sekolah seringkali bertujuan menanamkan nilai luhur dan semangat patriotisme, yang kadang disalahartikan sebagai “indoktrinasi.”

Sejarah, di tangan para akademisi profesional, bukanlah kebenaran tunggal. Ia adalah ilmu yang dinamis, menuntut sikap kritis, bukan kepasrahan. Mengkritisi masa lalu bangsa sendiri bukanlah bentuk ketidaksetiaan, melainkan sebuah bentuk cinta yang ingin membangun narasi yang lebih jujur.

Maka, pertanyaan besar tetap menggantung: akankah buku babon ini berani menyentuh luka-luka masa lalu? Akankah ia mengupas tuntas tragedi berdarah 1965-1966? Atau menguak misteri di balik “petrus” (penembakan misterius) 1983-1984 yang sesungguhnya tak misterius? Dan yang paling penting, akankah kekerasan negara dalam “Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli” (Kudatuli) 1996 dan teror Mei 1998 diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari lembaran sejarah?


Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi

Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.

Rp 1.000.000