Hari itu, Senin yang cerah di Kota Bekasi, diselimuti haru. Tangis dan peluk menghiasi gerbang Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13, sebuah institusi yang menempati kawasan Sentra Terpadu Pangudi Luhur. Momen perpisahan kecil itu, antara orang tua dan anak-anak mereka, menjadi permulaan dari babak baru dalam hidup. Sebuah babak yang, jika berhasil, akan mengubah nasib jutaan keluarga.

Di balik seragam baru dan tas yang lebih baik, ada kisah-kisah sederhana dari sudut-sudut ekonomi terlemah. Mayoritas orang tua yang mengantar anak-anak mereka pagi itu adalah pekerja informal dengan penghasilan bulanan di kisaran Rp 1 hingga 2 juta, bagian dari kelompok desil 1 dan 2—dua lapisan terbawah dalam piramida ekonomi nasional. Bagi mereka, pendidikan berkualitas adalah kemewahan yang mustahil. Kini, berkat program Sekolah Rakyat, jembatan harapan itu mulai terbentang.

Program yang digagas Presiden Prabowo Subianto ini lahir dari gagasan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi hak eksklusif kaum berpunya. Ide ini, yang pertama kali diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, pada 3 Januari 2025, bertujuan memberikan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Targetnya ambisius: 200 lokasi sekolah akan menampung 20.000 siswa di seluruh Indonesia. Saat ini, 63 lokasi sudah memulai pembelajaran, sementara sisanya masih dalam tahap persiapan.

Perdebatan di Balik Nama

Di balik idealisme tersebut, muncul pertanyaan kritis. Mengapa program pendidikan ini berada di bawah naungan Kementerian Sosial (Kemensos), bukan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang lebih sesuai dengan tupoksi-nya?

Maria Yohana Esti Wijayati, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyuarakan keraguannya. “Sebaiknya langsung di bawah Kemendikdasmen,” ujarnya, seraya menegaskan bahwa Kemensos seharusnya cukup menyediakan data masyarakat miskin ekstrem.

Namun, Menteri Sosial Saifullah Yusuf punya jawaban diplomatis. “Semua ini adalah pembantu presiden,” katanya, menekankan bahwa di mata pemerintah, semua kementerian memiliki peran yang sama dan harus saling berkolaborasi. Argumennya diperkuat oleh fakta bahwa Kemensos memiliki data rinci mengenai masyarakat miskin yang menjadi target program ini. Apalagi jika menilik data Kemendikbudristek (2024), angka putus sekolah di Indonesia masih di atas 1,4 juta anak, sebuah masalah kompleks yang tak bisa diurai oleh satu kementerian saja.

Jalan Terjal Menuju Merakyat

Sekolah Rakyat adalah bagian dari implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pengentasan Kemiskinan. Demi kelancaran program, sebuah Desk Sekolah Rakyat bahkan telah dibentuk pada April 2025, diisi oleh perwakilan lintas kementerian. Hal ini mencerminkan kesadaran pemerintah bahwa mengentaskan kemiskinan ekstrem bukanlah tugas tunggal.

Dengan standar pendidikan nasional dan konsep asrama (boarding school), program ini menjanjikan pendidikan yang utuh, yang mungkin akan menghabiskan sekitar Rp100 miliar per sekolah. Namun, di tengah semua target dan anggaran yang masif itu, ada satu esensi yang tidak boleh hilang: keberpihakan.

Agar program ini benar-benar “merakyat,” ia harus berhasil menembus labirin birokrasi dan melayani mereka yang paling membutuhkan. Program ini tidak hanya harus membangun sekolah, tetapi juga membangun keyakinan bahwa harapan itu nyata. Jurnalisme sastrawi kadang mengajarkan kita untuk melihat lebih dalam: di balik angka, ada isak tangis dan peluk perpisahan yang mengandung janji akan masa depan yang lebih cerah. Dan janji itulah yang sesungguhnya harus ditepati.


Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi

Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.

Rp 1.000.000